Bhineka satu
Image default
Politik

WAKTU TUNGGU SAMPAI TAHUN 2024, MOMENTUM MENGHARMONISKAN PEMILIHAN UMUM, PEMILIHAN KEPALA DAERAH DAN PARTAI POLITIK DI INDONESIA

Hukum Tata Negara

Waktu tunggu Pemilihan Umum (Pemilu) dan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang akan dilaksanakan serentak pada tahun 2024 harus dimanfaatkan untuk merefleksikan sekaligus melakukan perbaikan kedua sistem tersebut di Indonesia. Menjadi polemik menarik, pada tahun ini DPR dan Pemerintah sepakat revisi Undang-Undang Pemilu ditarik dari daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2021. Silang sengkarut sangat mungkin terjadi pada Pemilu dan Pilkada tahun 2024 karena sebentarnya waktu persiapan dari Pemilu ke Pilkada. Setidaknya di awal tahun 2024 akan dilaksanakan Pemilu yakni Pemilihan Legislatif DPD, DPR, DPRD Provinsi, dan DPR Kabupaten/Kota serta Pemilihan Presidan dan Wakil Presiden, sedangkan Pilkada akan dilaksanakan pada 34 Provinsi ditambah 514 kabupaten/kota di akhir tahun tersebut. Rumitnya sistem Pemilu dan Pilkada ditambah dengan banyaknya kotak yang akan dihadirkan depan masyarakat.

Berkaca pada pengalaman Pemilu serentak tahun 2019 banyak memakan korban dari penyelenggara, tahapan-tahapan yang kemungkinan saling beririsan antara tahapan Pemilu dan Pilkada, dan beberapa aturan yang kemungkinan masih banyak perlu perbaikan. Sedangkan pelaksanaan Pilkada tahun 2020 di masa pandemi Covid-19 harus menjadi pertimbangan dengan alasan pandemi yang tidak dapat dipastikan kapan akan berakhir. Untuk itu penting untuk melakukan perbaikan-perbaikan dari sisi peraturan perundangan-undangan sebagai payung hukum pada penyelenggaran Pemilu dan Pilkada yang dilaksanakan pada tahun yang sama di tahun 2024. Namun Pemerintah dan DPR tidak mengambil kesempatan emas waktu tunggu ini menjadi momentum untuk melakukan perbaikan-perbaikan melalui legislasi. Padahal perbaikan tidak harus terkait dengan waktu penyelenggaraan yang sangat dekat politisasi, perbaikan diperlukan beberapa hal mulai dari kewenangan penyelenggara sampai dengan teknis pelaksanaan.

Permasalahan mendasar perbedaan dalam penyelenggaran Pemilu dan Pilkada erat kaitannya dengan perbedaan kedua rezim, perlu kiranya kembali mengharmonisasikan kedua sistem tersebut. Tidak hanya kedua sistem Pemilu dan Pilkada, mengharmonisasikan dengan sistem kepartaian saat ini juga penting terkait permasalahan partai politik yang memerlukan perbaikan-perbaikan. Dengan keterpaduan ketiga sistem tersebut diharapkan terciptanya pembaharuan guna meningkatkan kualitas indeks demokrasi Indonesia. Moderenisasi pelembagaan sistem politik Indonesia diharapkan ke depan dapat meningkatkan kualitas demokrasi dari hulu sampai dengan hilir. Dengan sistem yang harmonis dan kuat dapat digunakan untuk jangka panjang dengan tetap dilakukan review menyesuaikan dengan perkembangan masayarakat yang dinamis. Untuk itu harmonisasi sistem Pemilu, Pilkada dan Partai Politik perlu dilakukan pada waktu tunggu sebelum tahun 2024.

Urgensi harmonisasi berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) dikaitkan dengan Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang Menjadi Undang-Undang (UU Pilkada) dari kacamata penyelenggara dalam hal ini Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), ada beberapa kewenangan yang dapat diharmonisasikan dari penanganan pelanggaran administrasi UU Pemilu melalui mekanisme ajudikasi dan melahirkan produk putusan, sedangkan untuk UU Pilkada melalui mekanisme klarifikasi dan kajian hasilnya berupa rekomendasi kepada KPU atau peserta pemilihan untuk ditindaklanjuti. Selanjutnya penyelesaian sengketa proses dalam UU Pemilu melalui mediasi selanjutnya adjudikasi melahirkan produk putusan sedangkan dalam UU Pilkada melalui musyawarah tertutup selanjutnya musyawarah terbuka melahirkan produk putusan. Perbedaan antara UU Pemilu dan UU Pilkada tersebut merupakan sebagian kecil dari hal yang harus diharmonisasikan pada masa tunggu tahun 2024. Banyak hal selain dari itu yang harus dilakukan pembahasan untuk dilakukan perbaikan serta diharmonisasikan.

Dalam hal Undang-Undang UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik (UU Parpol) ada beberapa permasalahan saat ini juga memiliki urgensi untuk dilakukan perbaikan karena sampai dengan saat ini UU Parpol kurang menjadi perhatian direformasikan. Pemerintah dan DPR beberapa kali melakukan perubahan UU Pemilu dan UU Pilkada namun lupa melakukan perubahan terkait dengan salah satu pilar dari demokrasi yakni Partai Politik (parpol). Beberapa permasalahan yakni parpol yang mengedepankan karakter patronase bukan pola kaderisasi, biaya politik yang mahal, transparansi keuangan dan akuntabilitas partai politik. Permasalahan-permasalahan tersebut seharusnya segera dibenahi pada masa tunggu menuju tahun 2024 ini. Tidak hanya dilakukan harmonisasi namun juga moderenisasi sistem politik guna meningkatkan indeks demokrasi Indonesia semakin maju.

Pemerintah dan DPR harus memanfaatkan momentum perbaikan ini untuk harmonisasi dan moderenisasi pelembagaan sistem politik dengan melakukan beberapa langkah-langkah terobosan hukum. Beberapa alternatif yang dapat dipilih Pemerintah dan DPR mulai dari melakukan kodifikasi sampai dengan omnibus law. Sejarah mencatat Indonesia telah memberlakukan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) untuk seluruh wilayah Indonesia sejak tahun 1958 sampai dengan saat ini dan beberapa kodifikasi lain seperti Hukum Perdata. Terbukanya keran pembentukan peraturan perundang-undangan melalui omnibus law yang disebut dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja menjadi alternatif menarik yang dapat diambil. Kedua alternatif tersebut perlu dipertimbangkan walaupun perkembangan hukum yang sangat kompleks memaksa hukum harus cepat dan dinamis. Faktanya omnibus law dapat diselesaikan Pemerintah dan DPR tidak sampai waktu dua tahun pembahasan sampai dengan ditetapkan menjadi undang-undang.

Konsep kodifikasi dilihat dari sisi sejarah mencapai puncaknya pada masa awal ke-19. Pada saat itu kodifikasi lebih merupakan upaya perumusan hukum dari norma-norma dan nilai-nilai yang sudah mengendap dan berlaku dalam masyarakat. Kodifikasi dianggap merupakan ciri khas dari negara yang menganut sistem civil law, salah satunya Prancis yang merupakan negara yang mengadopsi kodifikasi, namun dalam perkembangannya kodifikasi telah diadopsi juga oleh negara yang menggunakan sistem common law. Maria Farida Indrati menjelaskan pengertian kodifikasi adalah penyusunan dan penetapan peraturan-peraturan hukum dalam kitab undang-undang secara sistematis mengenai bidang hukum yang agak luas. Dengan demikian, kodifikasi bukanlah sekedar penyusunan seperangkat peraturan hukum mengenai hal tertentu ke dalam kitab undang-undang, melainkan bidang hukum yang lebih luas, seperti bidang hukum perdata, bidang hukum dagang, bidang hukum pidana, dan sebagainya. Dengan kodifikasi, peraturan-peraturan mengenai suatu bidang hukum berikut sistemnya dan dasar-dasarnya yang selama ini tersebar kemudian dikumpulkan dan disatukan dalam suatu kitab secara teratur. Bentuk hukumnya diperbaharui namun isinya diambil dari hukum yang sudah ada dan masih berlaku.

Sedangkan omnibus law menurut Ima Mayasari menjelaskan meski Indonesia menganut sistem hukum civil law, sementara omnibus law lahir dari tradisi hukum common law. Namun dalam dunia digital ecosystem dan global governance, tidak adanya salah Indonesia menerobos ruang batas ini. Beberapa negara seperti Filipina juga telah mereformasi hukum dalam konteks investasi dengan menerbitkan the omnibus investement code. Bayu Dwi Anggono menjelaskan pengertian omnibus law yang dikutip dari Barbara Sinclair mendefinisikan omnibuslaw sebagai “Legalation That Addresses numerous and not necessarily related subjects, issues, and programs, and therefore is usually highly complex and long, is referred to as omnibus legislation”. Hal ini menekankan pengertian omnibus law sebagai satu UU yang memuat banyak hal namun belum tentu apa yang dimuat adalah subjek, isu atau program yang saling terkait. Bayu Dwi Anggono juga mengutip pengertian dari omnibus law dari Audrey O’Brien dan Marc Bosc sebagai RUU yang berupaya mengubah, mencabut, atau memberlakukan beberapa ketentuan berbagai UU, melalui omnibus law maka beberapa amandeman UU dilakukan melalui satu UU dalam rangka memfasilitasi satu kebijakan tertentu yang diambil oleh negara.

Pilihan kodifikasi atau omnibus law yang akan diambil oleh Pemerintah dan DPR, kata kuncinya adalah waktu tunggu sampai tahun 2024 harus dimanfaatkan sebagai momentum untuk mengharmonisasikan Pemilu, Pilkada dan Parpol di Indonesia. Ada beberapa klaster yang harus menjadi titik tekan perbaikan yakni sistem pemilu sendiri, pemilih dalam hal ini masyarakat yang memiliki hak pilih, penyelenggara pemilu (KPU, Bawaslu dan DKPP) dan peserta pemilu baik itu parpol maupun independen. Semakin cepat dilakukan harmonisasi, kesiapan dari penyelenggara pemilu semakin cepat membuat peraturan di bawahnya sebagai teknis pelaksana dan segera melakukan sosialisasi pada masyarakat. Terlepas dari konsep mana yang akan dipilih, kedua alternatif konsep tersebut haruslah melalui mekanisme pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik sehingga peraturan perundang-undangan yang dibuat memiliki daya laku (validity) dan daya guna (efficacy).

Oleh : Syaugi Pratama (Analis Sengketa Peradilan,

Artikel Lainnya

Bawaslu – Polri Gagas Kerja Sama Untuk Pemilu 2024

bhineka satu

Giona Nur Alam akan Bertarung di Pilwali Kendari 2024, Mengaku sudah Mendapat Restu

bhineka satu

Deret “followers” parpol terbanyak di media sosial

bhineka satu